Jumat, 26 April 2019

Geng Kriminal Kuasai Kamp Pengungsi Rohingya di Bangladesh

Dhaka - Geng-geng kriminal dan militan dilaporkan menguasai kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh. Mereka disebut melakukan tindak pembunuhan dan penculikan tanpa dihukum sama sekali.

Sekitar 740 ribu pengungsi Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh setelah operasi militer besar-besaran pada Agustus 2017 lalu. Para pengungsi Rohingya itu bergabung dengan ratusan ribu lainnya yang terlebih dulu mengungsi karena praktik kekerasan beberapa tahun lalu.

Seperti dilansir AFP, Jumat (26/4/2019), laporan terbaru International Crisis Group (ICG) menyatakan bahwa tanpa prospek kembalinya para pengungsi Rohingya ke Myanmar, maka komunitas internasional harus membantu Bangladesh untuk menampung para pengungsi dalam beberapa tahun ke depan.

Dalam laporannya, ICG menyerukan agar Bangladesh meningkatkan pengerahan personel kepolisian ke kamp-kamp pengungsi Rohingya karena geng kriminal dan kelompok ekstremis kini beroperasi secara terbuka di sana.


ICG menyatakan bahwa ancaman dari ekstremis membuat para pemimpin pengungsi Rohingya mengkhawatirkan keselamatan mereka. Tindak pembunuhan, yang dilaporkan ICG, cukup sering terjadi, sangat 'jarang' diselidiki.

"Para pengungsi menyatakan kekhawatiran serius soal keamanan personal mereka dan para militan dan geng kriminal selalu mengintimidasi, menculik dan membunuh dengan impunitas (tanpa dihukum)," demikian sebut laporan ICG.

"Pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya nyaris terjadi setiap malam... dan para pelaku nyaris tidak pernah dibawa ke pengadilan," imbuh laporan tersebut.

Disebutkan ICG bahwa sejumlah pemimpin komunitas Rohingya 'menerima ancaman pembunuhan yang kredibel'. "(Ancaman pembunuhan) Yang diyakini datang dari ARSA dan mengkhawatirkan keselamatan mereka," sebut ICG dalam laporannya merujuk pada militan Arakan Rohingya Salvation Army.



ARSA dianggap bertanggung jawab atas serangan mematikan terhadap militer Myanmar dalam beberapa tahun terakhir, termasuk serangan tahun 2017 yang memicu eksodus besar-besaran warga Rohingya dari Rakhine.

Menanggapi laporan itu, Kepolisian Bangladesh menyatakan pihaknya telah meningkatkan keamanan dengan mendirikan sedikitnya tujuh pos kepolisian baru, juga mengerahkan polisi bersenjata dan operasi intelijen yang lebih baik.

"Laporan itu melebih-lebihkan, tapi bukannya tidak berdasar. Memang benar, tindak kekerasan di kamp-kamp (pengungsi Rohingya) telah meningkat," sebut juru bicara Kepolisian Distrik Cox's Bazar, Iqbal Hossain, kepada AFP.



Disebutkan Hossain bahwa sekitar 60 pengungsi Rohingya dibunuh di kamp-kamp pengungsian Bangladesh sejak tahun 2017. Namun dia menyangkal kehadiran ARSA di kamp-kamp pengungsian. Sebagian besar tindak pembunuhan yang terjadi, menurut Hossain, merupakan bagian dari perebutan kekuasaan di antara kelompok pengungsi Rohingya.

"Aktivitas intelijen telah ditingkatkan untuk mencari tahu apakah ARSA terlibat dalam pembunuhan," terang Hossain, sembari menambahkan bahwa 1.000 polisi dan personel keamanan telah dikerahkan ke kamp-kamp pengungsian.

Terlepas dari itu, laporan ICG menyebut bahwa polisi Bangladesh kurang menyebar dan hanya fokus pada perimeter keamanan juga perlindungan warga lokal Bangladesh. Saat malam tiba dan para relawan kemanusiaan kembali ke markas di kota Cox's Bazar, sebut ICG, keamanan ada di tangan 'penjaga malam yang tidak terlatih dan tidak bersenjata yang dipilih dari kalangan pengungsi'.